Hiperinflasi dan contoh negara yang pernah mengalami hiperinflasi

Hiperinflasi ini akan diulas dengan beberap sub pembahasan diantaranya mengenai biaya akibat inflasi yang luar biasa, penyebab hiperinflasi dan contoh negara yang pernah mengalami hiperinflasi tersebut.

Hiperinflasi menurut ahli

Mankiw

Hiperinflasi adalah inflasi yang melebihi 50 persen per bulan, atau yang hanya lebih dari 1 persen per hari. Diperparah selama berbulan-bulan, tingkat inflasi ini mengarah pada kenaikan tingkat harga yang sangat besar. Tingkat inflasi 50 persen per bulan menyiratkan peningkatan lebih dari 100 kali lipat pada tingkat harga selama setahun dan peningkatan lebih dari 2 juta kali lipat selama tiga tahun .

Pendapat lain

Hiperinflasi adalah inflasi yang “di luar kendali”, yang dimana keadaannya menunjukkan kenaikan harga yang cepat dan mata uang kehilangan nilainya. Hiperinflasi digambarkan dengan inflasi yang lebih dari 100% per tahun. Uang menjadi tidak bernilai dan perdagangan barter muncul.

 

Biaya Akibat Inflasi Luar Biasa

Para ekonom tidak ada yang meragukan bahwa hiperinflasi akan berdampak besar pada masyarakat. Ketika inflasi mencapai tingkat ekstrem, biaya-biaya menjadi begitu parah.

Contohnya perusahaan harus sering mengubah harga sehingga praktik bisnis normal seperti mencetak dan mendistribusikan katalog dengan harga tetap menjadi mustahil. Di satu restoran selama inflasi ekstrim di Jerman tahun 1920-an, seorang pelayan akan berdiri di atas meja setiap 30 menit untuk memberitahu harga baru. Ketika harga sering berubah dengan jumlah besar maka akan sulit bagi pelanggan untuk berbelanja dengan harga terbaik.

Contoh pada Sistem pajak juga terdistorsi nilainya oleh hiperinflasi. Dalam kebanyakan sistem perpajakan, ada penundaan antara waktu pajak dipungut dan waktu pajak itu sebenarnya dibayarkan kepada pemerintah. Di Amerika Serikat, misalnya wajib pajak diharuskan melakukan taksiran pembayaran pajak penghasilan setiap tiga bulan. Penundaan singkat membayar tidak masalah di bawah kondisi inflasi rendah. Namun selama inflasi sangat tinggi, dengan penundaan singkat akan sangat mengurangi pendapatan pajak riil. Pada saat pemerintah mendapatkan uang pajaknya, uang tersebut telah jatuh nilainya. Sehingga akibat hiperinflasi menjadikan penerimaan pajak riil pemerintah sering turun secara substansial.

Akhirnya, biaya akibat inflasi ekstrim ini menjadi tidak tertahankan. Seiring waktu, uang kehilangan perannya sebagai penyimpan nilai, satuan hitung, dan alat tukar. Pada akhirnya akan kembali pada sistem Barter.

 

Penyebab Hiperinflasi

Penyebab Hiperinflasi yaitu pertumbuhan pasokan uang yang berlebihan. Ketika bank sentral mencetak uang, tingkat harga naik. Ketika mencetak uang dengan cukup cepat, hasilnya adalah hiperinflasi. Untuk menghentikannya, bank sentral harus mengurangi laju pertumbuhan uang. Namun, jawaban ini tidak lengkap, karena memunculkan pertanyaan mengapa bank sentral memilih mencetak banyak uang. Kita perlu melihat pada kebijakan moneter ke kebijakan fiskal.

Sebagian besar penyebab hiperinflasi dimulai ketika pemerintah memiliki pendapatan pajak yang tidak memadai untuk membayar pengeluarannya. Meskipun pemerintah mungkin lebih memilih untuk membiayai defisit anggaran ini dengan mengeluarkan utang. Pemerintah mungkin menemukan dirinya tidak dapat meminjam uang lagi, karena mungkin pemberi pinjaman menilai pemerintah memiliki resiko kredit yang buruk. Sehingga untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah akan beralih ke satu-satunya mekanisme yang tersedia yaitu dengan mencetak uang. Hasilnya adalah pertumbuhan uang yang cepat dan inflasi yang ekstrim.

Setelah hiperinflasi berlangsung, masalah fiskal akan menjadi semakin parah. Karena keterlambatan pengumpulan pembayaran pajak menyebabkan penerimaan pajak riil turun ketika inflasi naik. Penciptaan uang cepat menyebabkan hiperinflasi, yang mengarah ke defisit anggaran yang lebih besar, yang mengarah pada penciptaan uang yang lebih cepat.

Ujung-ujung hiperinflasi hampir selalu bersamaan dengan reformasi fiskal. Pemerintah harus memiliki kemauan politik untuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Reformasi fiskal ini dapat menjad cara mengatasi hiperinflasi atau paling tidak mengurangi kebutuhan pertumbuhan uang. Oleh karena itu, bahkan jika inflasi merupakan fenomena moneter, pada akhirnya penyebab hiperinflasi seringkali merupakan fenomena fiskal juga.

 

Negara yang pernah mengalami hiperinflasi

Beberapa negara yang pernah mengalami hiperinflasi diantaranya Bolivia, Jerman, Zimbabwe, bahkan Indonesia. Berikut ini akan sedikit diulas mengenai kasus di negara yang pernah mengalami di Jerman:

Hiperinflasi Jerman

Setelah Perang Dunia I, Hiperinflasi Jerman menjadi contoh yang spektakuler dalam sejarah. Di akhir perang, Sekutu menuntut agar Jerman membayar ganti rugi yang besar. Pembayaran ini menyebabkan defisit fiskal di Jerman, yang akhirnya dibiayai oleh pemerintah Jerman dengan mencetak sejumlah besar uang.

Jumlah uang dan tingkat harga umum di Jerman dari Januari 1922 hingga Desember 1924 naik pada tingkat yang luar biasa. Misalnya, harga surat kabar harian naik dari 0,30 pada Januari 1921 menjadi 1 pada Mei 1922, menjadi 8 mark pada Oktober 1922, menjadi 100 mark pada Februari 1923, dan menjadi 1.000 mark pada September 1923. Kemudian, pada musim gugur tahun 1923, harga mulai naik: koran dijual 2.000 mark pada 1 Oktober; 20.000 mark pada 15 Oktober; 1 juta mark pada 29 Oktober; 15 juta mark pada 9 November; dan 70 juta mark pada tanggal 17 November. Pada bulan Desember 1923 jumlah uang beredar dan harga tiba-tiba stabil.

Sama seperti masalah fiskal yang menjadi penyebab hiperinflasi Jerman, reformasi fiskal mengakhirinya. Pada akhir 1923, jumlah pegawai pemerintah dikurangi sepertiga, dan pembayaran reparasi ditangguhkan sementara dan akhirnya berkurang. Pada saat yang sama, bank sentral baru, Rentenbank, menggantikan bank sentral lama, Reichsbank. Rentenbank berkomitmen untuk tidak membiayai pemerintah dengan mencetak uang.

Menurut analisis teoritis tentang permintaan uang, penghentian hiperinflasi harus mengarah pada peningkatan keseimbangan uang riil pada saat biaya menahan uang jatuh. Keseimbangan uang riil di Jerman memang turun ketika inflasi meningkat dan kemudian meningkat lagi ketika inflasi turun. Namun peningkatan saldo uang riil tidak segera. Mungkin penyesuaian keseimbangan uang riil dengan biaya memegang uang adalah proses bertahap. Atau mungkin butuh waktu bagi orang-orang di Jerman untuk percaya bahwa inflasi telah berakhir sehingga inflasi yang diharapkan turun lebih lambat daripada inflasi aktual.

Be the first to comment

Leave a Reply