Analisis Indeks Pembangunan Manusia: Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Pengeluaran di NTB 2010-2016

Pada kesempatan ini akan dilakukan analisis Indeks Pembangunan Manusia yang dipilah berdasarkan kondisi Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Pengeluaran di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2010-2016. Secara umum pembangunan manusia di NTB terus mengalami perbaikan. Namun secara detail mengenai kondisi pembangunan di NTB dapat disimak pada paparan tesis Muhammad Dzul Fadlli sebagai berikut:

 

  • Pembangunan manusia di NTB tahun 2010-2016

Kondisi pembangunan manusia di provinsi Nusa Tenggara Barat terus mengalami peningkatan dari tahun 2010-2016. Hal tersebut terlihat dari perbaikan dalam nilai indeks pembangunan manusia. Lebih jelas terkait indeks pembangunan manusia di NTB diperlihatkan gambar berikut:

Gambar 5.14 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB 2010-2016

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB 2010-2016
Sumber: (BPS, 2017b) diolah

Pada gambar 5.14 diatas terlihat bahwa indeks pembangunan mansuai NTB dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Paling rendah nilai IPM yaitu pada tahun 2010 sebesar 61,16 dan paling tinggi pada tahun 2016 sebesar 65,81. Dari tahun 2010 hingga 2016 telah terjadi kenaikan indeks pembangunan manusia sebesar 4,65 poin. Pembentuk nilai IPM terdiri atas 3 nilai indeks yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks pengeluaran. Bila dirincikan lebih jauh lagi ketiga indeks tersebut sebagai berikut:

Gambar 5.15 Indeks Kesehatan, Indeks Pendidikan dan Indeks Pengeluaran NTB 2010-2016

Indeks Kesehatan, Indeks Pendidikan dan Indeks Pengeluaran di NTB

Pada gambar 5.15 diatas memperlihat nilai indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks pengeluaran di NTB pada tahun 2010-2016. Ketiga indeks tersebut menunjukkan kenaikan setiap tahunnya. Indeks kesehatan merupakan nilai indeks yang paling tinggi, namun indeks kesehatan mengalami laju pertumbuhan yang lambat. Indeks pengeluaran memiliki nilai indeks lebih rendah dibanding indeks kesehatan namun laju kenaikannya sama lambatnya dengan laju indeks kesehatan. Sedangkan indeks pendidikan merupakan nilai paling rendah namun memiliki laju yang paling tinggi dibanding dua nilai indeks lainnya.Sumber: (BPS, 2017b) diolah

Bila di telusuri lebih jauh mengenai perubahan nilai indeks pembentuk indeks pembangunan (indeks kesehatan, indeks pendidikan, dan indeks pengeluaran), terlihat bahwa ketiga nilai indeks tersebut mengalami kemajuan pada tingkat kabupaten/kota. Baik dari segi indeks kesehatan, indeks pendidikan maupun indeks pengeluaran, secara umum terlihat bahwa terdapat perbaikan pada indeks-indeks tersebut. Bila dirincikan lagi dari komponen pembentuk indeks-indeks tersebut otomatis meningkat pula.

Untuk menjelaskan lebih lengkap mengenai perkembangan dari ketiga indeks pembentuk indeks pembangunan manusia tersebut dan bagaimana komponen yang mempengaruhinya, akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Tingkat kesehatan masyarakat

Salah satu tolak ukur menilai kesehatan masyarakat yaitu melalui indeks kesehatan. Perbaikan indeks kesehatan merupakan wujud dari adanya perbaikan pada komponen penyusun indeks tersebut yang berupa angka harapan hidup (AHH). Pada gambar 5.15 tentang indeks kesehatan diatas terlihat adanya perbaikan indes kesehatan di NTB. Naiknya nilai indeks kesehatan sudah pasti dipengaruhi pula dari kenaikan dari angka harapan hidupnya. Kondisi angka harapan hidup di NTB dapat diperlihatkan pada gambar berikut:

Gambar 5.16 Angka Harapan Hidup di NTB

Angka harapan hidup masyarakat NTB pada tahun 2010-2016 terus meningkat. Angka harapan hidup NTB telah mengalami peningkatan dari 63,82 tahun pada 2010 menjadi 65,48 tahun pada 2016. Kenaikan indeks kesehatan paling tinggi terjad pada tahun 2015 sedangkan yang kenaikannya paling kecil terjadi pada tahun 2016.

Gambaran lebih jauh terkait angka harapan hidup tersebut bila dirincikan berdasarkan kabupaten/kota akan terlihat sesuai gambar berikut:

Gambar 5.17 Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di NTB

Sumber: (BPS, 2017b) diolah

Angka harapan hidup di Nusa Tenggara Barat pada tingkat kabupaten/kota terus mengalami perbaikan dari tahun 2010 hingga 2016. Secara akumulasi pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota memperlihatkan kenaikan usia harapan hidup. Kabupaten/kota dengan usia harapan hidup paling tinggi yaitu kota Mataram, yang kemudian disusul oleh Kota Bima. Kota Mataram dan Kota Bima terlihat memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi dan cukup jauh meninggalkan kabupaten/kota lainnya. Sedangkan pada posisi paling buncit dimiliki oleh Kabupaten Lombok Timur.

Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan angka harapan hidup yaitu dari kematian bayi. Terlihat bahwa angka harapan hidup yang semakin baik dapat menunjukkan semakin berkurangnya angka kematian bayi. Berdasarkan pada data kasus kematian bayi di NTB terlihat sebagaimana gambar berikut:

Gambar 5.18 Kasus Kematian Bayi di NTB

Sumber: (Dinas Kesehatan NTB, 2017) diolah

Pada data kasus kematian bayi di NTB menunjukkan adanya tren menurun. Pada tahun 2011 terdapat 1318 kasus kematian bayi, sempat mengalami peningkatan pada tahun 2012 menjadi 1432 kasus dan setelahnya memiliki kecenderungan menurun. Hingga pada tahun 2016 turun menjadi 1006 kasus kematian bayi di NTB.

Untuk tingkat kesehatan masyarakat yang lebih baik harus didukung oleh ketersediaan sarana kesehatan. Salah satu sarana kesehatan yang penting yaitu ketersediaan rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Jumlah sarana kesehatan di NTB dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 5.19 Sarana Kesehatan di NTB tahun 2014


Sumber: (Kementerian Kesehatan, 2014)

Dari gambar diatas terlihat sarana kesehatan berupa rumah sakit dan puskesmas yang ada di NTB pada tahun 2014. Rumah sakit terbanyak ada di Kota Mataram dengan jumlah sebanyak 15 rumah sakit. Hal ini sangat timpang dengan daerah lain yang hanya memiliki 1 sampai 3 rumah sakit per kabupaten/kota. Dari sisi ketersediaan puskesmas, yang terbanyak yaitu di Kota Bima dengan 63 puskesmas. Urutan terbanyak kedua yaitu Kota Mataram dengan 57 puskesmas. Dari ketersediaan puskesmas juga cukup timpang, kedua kota tersebut jauh lebih banyak dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di NTB. Daerah dengan jumlah sarana kesehatan termasuk paling sedikit yaitu Lombok Utara, Dompu dan Sumbawa Barat.

Hal yang patut untuk diperhatikan terkait kesehatan di NTB yaitu mengenai pembiayaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan di NTB secara proporsi untuk tahun 2016 dapat ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 5.20 Pembiayaan Kesehatan di Provinsi NTB 2016

Sumber: (Dinas Kesehatan NTB, 2017)

Dari sisi pembiayaan kesehatan pada tahun 2016 terlihat bahwa dominan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah tingkat kabupaten/kota. Pembiayaan kesehatan dari APBD mencapai 95,40%. Sumber pembiayaan lain yaitu berasal dari APBD provinsi yaitu sebesar 2,17%, dari APBN sebesar 2,33%.

 

  1. Kinerja Pendidikan

Indeks pendidikan dapat menjadi salah satu tolak ukur menilai kinerja bidang pendidikan suatu daerah. Indeks pendidikan diukur dari dua komponen penting yaitu rata-rata lama sekolah (RLS) dan harapan lama sekolah (HLS). Dengan kondisi indeks pendidikan seperti pada gambar 5.15 yang terus mengalami perbaikan menunjukkan adanya peningkatan pada kinerja pendidikan di NTB. Perbaikan pada nilai indeks tersebut secara otomatis mencerminkan juga meningkatnya rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Adapun data kedua komponen tersebut ditunjukkan oleh gambar berikut ini:

Gambar 5.21 Rata-Rata Lama Sekolah dan Harapan Lama Sekolah

Sumber: (BPS, 2017b)

Rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah di NTB terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 NTB memiliki harapan lama sekolah sebesar 11,6 tahun dan meningkat menjadi 13,16 tahun pada 2016. Angka harapan lama sekolah disini mencerminkan lamanya sekolah yang diharapkan dapat dirasakan oleh anak pada umur tertentu dimasa mendatang. Komponen ini akan memberikan gambaran rata-rata tentang peluang anak tersebut untuk memperoleh pendidikan. Dengan harapan lama sekolah yang makin tinggi di NTB menunjukkan adanya peningkatan peluang untuk sekolah lebih lama bagi anak-anak secara rata-rata. Begitu pula dengan rata-rata lama sekolah di NTB membaik. Yang pada awalnya sebesar 5,73 tahun pada 2010, terus meningkat menjadi 6,79 tahun pada 2016. Rata-rata lama sekolah disini menggambarkan kondisi jumlah tahun yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk mengikuti pendidikan formal. Dengan rata-rata lama sekolah yang semakin tinggi memberikan arti bahwa penduduk di wilayah NTB telah mengalami peningkatan pada pendidikan formal yang dijalani. Kenaikan komponen harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah tersebut selaras dengan adanya perbaikan indeks pendidikan di NTB. Kinerja pendidikan NTB semakin baik dari waktu ke waktu.

Dari komponen harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah bila ditelusuri lebih jauh berdasarkan kondisi kabupaten/kota akan memberikan gambar kondisi dari masing-masing daerah. Untuk gambaran harapan lama sekolah terlihat seperti pada gambar berikut:

Gambar 5.22 Harapan lama sekolah pada tingkat kabupaten/kota di NTB

kabupaten

Sumber: (BPS, 2017b) diolah

Harapan lama sekolah di NTB memiliki tren positif. Dari tahun ke tahun, harapan lama sekolah terus mengalami peningkatan baik pada tataran kabupaten/kota maupun secara rata-rata pada tingkat provinsi. Kabupaten/kota dengan harapan lama sekolah tertinggi dimiliki oleh Kota Mataram, yang selanjutnya disusul oleh Kota Bima. Dari segi harapan lama sekolah, memang kedua daerah ini jauh lebih unggul dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Pada posisi paling buncit secara umum di peroleh kabupaten Lombok Utara. Namun Kabupaten Lombok Utara memiliki kemajuan yang cukup baik dimana pada tahun 2010 masih jauh tertinggal dari kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2016, Kabupaten Utara mampu meningkatkan harapan lama sekolahnya hingga mampu menyamai Kabupaten Sumbawa dan sedikit lagi menyusul Kabupaten Lombok Tengah.

Bila dari segi rata-rata lama sekolah untuk tingkat kabupaten/kota akan terlihat sebagai berikut:

Gambar 5.23 Rata-rata Lama Sekolah pada tingkat kabupaten/kota di NTB

Sumber: (BPS, 2017b) diolah

Rata-rata lama sekolah di NTB mempunya tren naik dari tahun ke tahun. Pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sama-sama memiliki kenaikan rata-rata lama sekolah setiap tahunnya. Posisi puncak untuk rata-rata lama sekolah dipegang oleh Kota Bima, yang kemudian disusul oleh Kota Mataram.

Kedua kota tersebut unggul jauh dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya. Daerah dengan rata-rata lama sekolah paling rendah yaitu Kabupaten Lombok Utara. Kabupaten Lombok Utara cukup tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Pada kondisi rata-rata lama sekolah tersebut, daerah yang berada pada pulau Sumbawa lebih dominan memiliki nilai rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi dibandingkan daerah yang berada pada pulau Lombok.

Untuk melihat kinerja pendidikan di NTB, juga perlu melihat kondisi partisipasi penduduk dalam pendidikan. Partisipasi penduduk untuk menjalani pendidikan akan mempengaruhi pula harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Untuk melihat tingkat partisipasi masyarakat pada pendidikan disini dapat dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Angka Partisipasi kasar untuk menunjukkan jumlah penduduk yang berpartisipasi pada pendidikan, sedangkan angka partisipasi murni akan menunjukkan proporsi penduduk usia sekolah yang sedang sekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai umurnya pada kelompok sekolah yang tepat.

Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan tertentu (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan yang sama. Sejak tahun 2007, Pendidikan Non Formal (Paket A, Paket B, dan Paket C) turut diperhitungkan. Angka partisipasi kasar disini dapat dibedakan berdasarkan jenjang pendidikannya yaitu SD, SMP dan SMA. Angka partisipasi kasar ini berguna untuk menunjukkan berapa besar umumnya tingkat partisipasi penduduk pada suatu tingkat pendidikan. Dan juga untuk melihat berapa besar kapasitas sistem pendidikan dapat menampung siswa dari kelompok usia sekolah tertentu (BPS, n.d.).

Nilai APK bisa lebih dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. Penyebabnya adalah adanya pendaftaran siswa usia dini, pendaftaran siswa yang telat bersekolah, atau pengulangan kelas. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa wilayah tersebut mampu menampung penduduk usia sekolah lebih dari target yang sesungguhnya. APK yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat partisipasi sekolah, tanpa memperhatikan ketepatan usia sekolah pada jenjang pendidikannya. (BPS, n.d.)

Bila dilihat dari segi angka partisipasi kasar (APK) di NTB terlihat sebagaimana gambar dibawah ini:

Gambar 5.24 Angka Partisipasi Kasar (APK) di NTB

Sumber: diolah dari data (BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2018a) dan (Badan Pusat Statistik Provinsi NTB, 2011)

Laju angka partisipasi kasar untuk tingkat Sekolah Dasar dan tingkat Sekolah Menengah Pertama memiliki kecenderungan menurun, berbanding terbalik dengan angka partisipasi kasar tingkat Sekolah Menengah Atas yang cenderung meningkat. APK tingkat SD dapat dikatakan menurun karena pada tahun 2010 memiliki partisipasi kasar sebesar 111,18% namun menurun menjadi 110,78 % pada tahun 2016. Meski memiliki cendurung persentasenya turun, namun partisipasinya tinggi karena melebihi 100%. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi penduduk yang mengikuti sekolah dasar dasar lebih dari jumlah penduduk usia yang tepat pada jenjang tersebut (7-12 tahun untuk tingkat SD). Persentase bisa lebih dari 100% karena penduduk diluar usia tepat untuk jenjang SD masih mengikuti pendidikan tersebut baik terlalu muda ataupun yang telat. Dengan partisipasi kasar sebesar 110,78 % pada tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat 110,78 % penduduk mengikuti sekolah dasar dengan perbandingan pada penduduk usia tepat memasuki sekolah dasar.

Sedangkan angka partisipasi kasar SMP menurun dari 92,93% tahun 2010 menjadi 83,4% pada tahun 2016. Hal ini menandakan penurunan tingkat partisipasi penduduk untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMP. Jumlah penduduk yang bersekolah pada tingkat SMP menurun dari 92,93% ke 83,4% pada jenjang SMP dengan persetase diperbandingkan dengan jumlah penduduk usia yang tepat memasuki SMP (13-15 tahun). Selain itu dengan persentase dibawah 100% juga menandakan bahwa masih ada penduduk yang tidak bersekolah pada tingkat SMP.

Sedangkan angka partisipasi kasar penduduk untuk menjalani pendidikan tingkat SMA meningkat dari 69,04% pada tahun 2010 menjadi 91,25% pada tahun 2016. Persentase tersebut menandakan jumlah penduduk yang mengikuti pendidikan SMA dibandingkan dengan penduduk usia tepat memasuki SMA (16-18 Tahun). Hal ini menandakan semakin baiknya partisipasi kasar penduduk mengikuti pendidikan jenjang SMA.

Komponen lain untuk melihat lebih jauh partisipasi penduduk untuk mengikuti pendidikan yaitu melalui angka partisipasi murni. Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan proporsi dari penduduk kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah tepat di jenjang pendidikan yang seharusnya (sesuai antara umur penduduk dengan ketentuan usia bersekolah di jenjang tersebut) terhadap penduduk kelompok usia sekolah yang bersesuain. Sejak tahun 2007, pendidikan non formal (paket A, paket B, paket C) turut diperhitungkan. Manfat angka partisipasi murni ini untuk menunjukkan seberapa besar penduduk yang bersekolah tepat waktu, atau menunjukkan seberapa besar penduduk yang bersekolah dengan umur yang sesuai dengan ketentuan kelompok usia sekolah di jenjang pendidikan yang sedang ditempuh (Subdirektorat Rujukan Statistik Badan Pusat Statistik, 2017).

Angka partisipasi murni (APM) dapat dibedakan dari kelompok pendidikannya yaitu SD, SMP, dan SMA. Angka partisipasi murni SD dihitung dari jumlah murid SD/sederajat usia 7-12 tahun dibagi dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun, lalu dikalikan dengan seratus persen. Sehingga angka partisipasi murni SD dapat diperoleh. Sedangkan untuk APM tingkat SMP yaitu diperoleh dari jumlah murid SDMP/sederajat usia 13-15 tahun dibagi dengan jumlah penduduk usia 13-15 tahun, lalu dikalikan dengan seratus persen. Dan APM SMA dari jumlah murid SMA/sederajat usia 16-18 tahun dibagi dengan jumlah penduduk usia 16-18 tahun, lalu dikalikan dengan seratus persen.

Adapun angka partisipasi murni NTB ditampilkan pada gambar berikut:

Gambar 5.25 Angka Partisipasi Murni NTB

Sumber: diolah dari data (BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2018a)

Angka partisipasi murni di NTB terus mengalami peningkatan baik pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama maupu pada Sekolah Menengah Atas. Peningkatan paling tinggi terjadi pada tingkat SMA diikuti oleh tingkat SMP dan laju kenaikan paling kecil pada tingkat SD. Pada tingkat Sekolah Dasar terlihat bahwa penduduk pada kelompok usia 7-12 tahun yang mengikuti pendidikan SD telah diatas 90%. Lebih tepatnya sebanyak 92,61% penduduk usia 7-12 tahun mengikuti pendidikan di sekolah dasar pada tahun 2011. Partisipasi ini terus meningkat setiap tahun hingga pada tahun 2016 telah mencapai 97,9%. Hal ini menandakan hampir semua penduduk pada kelompok usia 7-12 tahun menjadi murid di sekolah dasar.

Angka partisipasi murni di NTB untuk tangkat SMP mengalami kenaikan dari 76,56% pada tahun 2011 menjadi 83,17 pada tahun 2016. Hal ini berarti jumlah murid atau penduduk yang berusia 13-15 tahun yang mengikuti pendidikan tingkat SMP meningkat dari 76,56% pada tahun 2011 menjadi 83,17 pada tahun 2016.

Sedangkan angka partisipasi murni SMA mengalami kenaikan paling tinggi dibanding yang lain. Dari sebanyak 53,41% pada tahun 2011 menjadi 65,19% pada tahun 2016. Hal tersebut menandakan adanya kenaikan jumlah penduduk/sisiwa yang berusia 16-18 yang menjalani pendidikan pada tingkat SMA yaitu dari sebanyak 53,41% pada tahun 2011 menjadi 65,19% pada tahun 2016.

Indikator lain yang menggambarkan kondisi pendidikan di NTB yaitu dari sisi persentase buta huruf penduduk usia 15 tahun keatas. Kondisi buta huruf di NTB diperlihatkan pada gambar berikut:

Gambar 5.26 Persentase Buta Huruf Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Kabupaten/Kota


Sumber: (BPS NTB, 2016b) diolah

Persentase buta huruf penduduk usia 15 tahun keatas menurut kabupaten/kota di NTB relatif berfluktuatif dan bervariasi kondisi antar daerahnya. Karena kebanyakan kabupaten/kota mengalami penurunan persentase buta huruf pada tahun 2014 namun pada tahun 2015 justru sebagian kabupaten/kota mengalami sedikit kenaikan lagi.

Adanya partisipasi masyarakat untuk mengikuti pendidikan tersebut harus diikuti oleh tersedianya infrastruktur penunjang agar proses pendidikan berkualitas. Salah satu yang penting yaitu tersedianya ruang kelas yang baik. Kondisi ruang kelas di NTB terlihat sebagaimana gambar dibawah ini:

Gambar 5.27 Persentase Ruang Kelas yang Baik


Sumber: (BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2018a) diolah

Kondisi ruang kelas yang baik pada jenjang SD dan SMP mengalami perbaikan sedangkan pada tingkat SMA mengalami penurunan. Kondisi ruang kelas yang baik pada tingkat SD mengalami perbaikan dari hanya 20,26% kelas yang baik pada tahun 2014 menjadi 23,49% pada 2016. Begitu pula pada tingkat SMP mengalami kenaikan persentase kelas yang baik dari sebesar 23,66% pada tahun 2014 menjadi 26,13% pada tahun 2016. Sebaliknya pada SMA mengalami penurunan persentase ruang kelas yang baik dari 41,59% pada tahun 2014 menjadi sebesar 40,03% pada tahun 2016. Dari kondisi ini dapat dilihat secara umum bahwa pendidikan di NTB diselenggarakan pada ruang kelas yang kurang layak. Sebab ruang kelas yang baik dari ketiga jenjang pendidikan tersebut masih dibawah 45%.

Selain infrastruktur, perlu juga melihat pendidikan di NTB dari sisi akses pendidikan yang harus semakin meluas. Salah satu ukuran untuk melihatnya yaitu dari rasio rombong belajar per ruang kelas milik. Kondisi di NTB dari sisi tersebut diperlihatkan pada gambar berikut:

Gambar 5.28 Rasio Rombong Belajar per Ruang Kelas Milik


Sumber: (Kemendikbud, 2017a, 2017c, 2017b)

Rasio rombong belajar per ruang kelas ini akan menunjukkan rasio dari jumlah rombong belajar (jumlah kelas) terhadap jumlah ruang kelas yang dimiliki. Diasumsikan bahwa rasio tersebut harusnya berjumlah satu yang menunjukkan bahwa jumlah kelas sama banyaknya dengan ruang kelas yang dimiliki. Namun kondisi di NTB menunjukkan rasio lebih dari 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah kelas lebih banyak daripada jumlah ruang kelas. Dari sini terlihat bahwa jumlah ruang kelas yang dimiliki belum cukup untuk memenuhi banyak jumlah kelas yang ada. Bila dari gambar dilihat memang terlihat secara umum rasio nya menurun baik itu untuk tingkat SD, SMP, dan SMA pada tahun 2013-2016. Ruang kelas yang dimiliki memang menunjukkan semakin mendekati jumlah kelas (rombong belajar) yang ada. Meskipun memang terlihat masih ada kebutuhan untuk ruang kelas agar bisa menampung semua rombong belajar.

 

 

  1. Kesejahteraan Masyarakat (Indeks Pengeluaran)

 

Indeks pengeluaran sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat di Nusa Tenggara Barat menunjukkan adanya perbaikan. Hal ini terlihat dari adanya nilai-indeks pengeluaran yang terus meningkat sebagaimana ditampilkan pada gambar 5.15 diatas. Membaiknya indeks pengeluaran dipengaruhi oleh kenaikan pada pengeluaran perkapita yang disesuaikan. Kondisi pengeluaran perkapita yang disesuaikan ditampilkan pada gambar berikut:

Gambar 5.29 Pengeluaran perkapita yang disesuaikan

Sumber: (BPS, 2017b) diolah

Pengeluaran perkapita NTB yang disesuai menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, pengeluaran perkapita yang disesuaikan di NTB sebesar 8.707.040 rupiah. Mengalami peningkata secara perlahan hingga tahun 2014. Terlihat peningkatan tajam pada tahun 2015 dan 2016. Pada tahun 2015, pengeluaran perkapita yang disesuaikan sudah mencapai 9.241.000 rupiah meningkat dari sebelumnya yang hanya 8.987.000. Dan meningkat lagi pada tahun 2016 menjadi 9.575.000 rupiah.

Kondisi pengeluaran perkapita pada tataran kabupaten/kota akan terlihat seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 5.30 Pengeluaran perkapita yang disesuaikan Kabupaten/Kota di NTB

Sumber: (BPS, 2017b) diolah

 

Secara umum terlihat memang terjadi kenaikan pendapatan perkapita di NTB baik secara akumulasi pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota. Kota Mataram menjadi daerah dengan tingkat pengeluaran perkapita paling tinggi, dengan kenaikan pengeluaran perkapita paling tinggi pula serta jauh meninggalkan kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2010, Kabupaten Lombok Utara memiliki pengeluaran perkapita paling kecil, namun karena kenaikan yang cukup baik sehingga mampu melampaui pengeluaran perkapita Kabupaten Bima pada tahun 2016. Kecenderungan kenaikan pengeluaran perkapita Kabupaten Bima cenderung lambat sehingga tertinggal dari daerah lainnya.

 

Intisari

Berdasarkan pada analisis Indeks Pembangunan Manusia yang dipilah berdasarkan kondisi Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Pengeluaran di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2010-2016, secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan manusia di NTB terus mengalami perbaikan. Hal ini termasuk terjadi perbaikan pada indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks pengeluaran.

 

Sumber:

Fadlli, Muhammad Dzul. (2019). ANALISIS INDIKATOR KINERJA UNTUK EVALUASI PEMBANGUNAN DENGAN KERANGKA LOGIC MODEL PADA SEKTOR KESEHATAN, PENDIDIKAN DAN EKONOMI DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PADA TAHUN 2010-2016. Universitas Brawijaya.

Be the first to comment

Leave a Reply